Sebelumnya saya mohon maaf jika part 3 dari perjalanan karir saya
di bank bjb baru saya tuliskan tujuh tahun setelah part 2 ditulis. Dan posisi
saat ini saya sudah resign dari bank bjb. Oleh karena itu, cerita tentang bank
bjb di edisi kali ini adalah seputar kenapa saya resign.
Kenapa resign?
Jujur saja, ini bukan keputusan yang gampang, tapi keputusan yang dilandasi
emosional. Hehe. Ya, saya kilas balik dulu ke awal mula masuk bank bjb.
Saya
mengikuti seleksi penerimaan calon pegawai bank bjb kurang lebih enam tahap
mulai dari administrasi hingga wawancara akhir dengan total waktu sekitar enam
bulanan.
Singkat cerita saya masuk ke tahap verifikasi data, tahap
terakhir yang harus dijalani. Namun di hari verifikasi ada sedikit musibah yang
terjadi. KTP saya hilang, entah di jalan atau di angkot. Saat itu saya langsung
ke polsek untuk membuat laporan kehilangan.
Tim verifikasi bank bjb
waktu itu menghendaki KTP asli. Saya sebagai orang luar kota, tentu nggak
mungkin balik saat itu. Sementara waktu verifikasi yang disediakan adalah tiga
hari. Hm... mana bisa ngurus KTP tiga hari langsung jadi, apalagi saat itu belum
ada KTP elektronik.
Pertolongan Allah pun datang melalui seseorang
yang sudah saya kenal sejak kuliah. Beliau orangnya memang baik. Ia bersama
suaminya akhirnya menolong saya membuatkan KTP dan dua hari jadi. Alhasil di
hari terakhir verifikasi, saya bisa menyerahkan berkas secara lengkap ke bank
bjb.
Dan alhamdulillah saya diterima menjadi calon pegawai bank bjb.
Jumlahnya sekitar 700 orang dari puluhan ribu pendaftar sejak awal pendaftaran
dibuka.
Hari-hari berlalu, hingga tiga tahun berselang, orang yang
menolong saya membuatkan KTP itu datang ke bank bjb menemui saya untuk satu
urusan. Saat itu beliau datang jam 11 siang dan sedikit memaksa untuk ketemu
saat itu juga.
Tentunya saya tidak bisa karena jam 11 siang masihlah
waktu kerja dan saya pun memintanya menunggu hingga pekerjaan saya selesai.
Sebelum ini saya selalu menginformasikan jika ingin berkunjung bisa di jam makan
siang. Toh, saya nggak pernah lupa sama siapa pun yang pernah berjasa dengan
hidup saya.
Tapi pertemuan inilah yang menjadi titik balik semuanya.
Saat saya menemuinya, tanpa basa-basi beliau bilang 'Kok kamu sombong ya,
ditemui susah, kalau bukan karena saya kamu nggak akan bisa kerja di sini
(bjb)'.
Entah kenapa saya sakit hati banget saat itu. Entah kenapa
saya susah sekali mengontrol hati ketika orang mengungkit kebaikan yang pernah
diberikannya. Alhasil pertemuan untuk membahas sesuatu itu pun terlupakan.
Setiap
hari kata-katanya selalu terbayang-bayang. Saya tidak ingin merasa tergantung
dengan orang lain yang membuatnya bisa semena-mana. Saya sadar, saya bisa
memilih untuk mengabaikannya, tapi saya selalu tidak tenang.
Hingga
akhirnya dua bulan setelah pertemuan itu, saya mengajukan resign. Orang-orang di
tempat kerja sebetulnya baik-baik. Bahkan, beberapa di antara mereka (termasuk
atasan langsung) saya meminta saya berpikir ulang keputusan ini. Tapi entah
kenapa hati saya begitu sakit. Dan serasa tidak tenang menjalani hari.
Akhir
2014 itulah saya resmi nggak lagi bekerja di bank bjb. Saya merasa bebas dari
kata-katanya yang menyakitkan, tapi rupanya saya menghadapi hari yang juga gelap
(belum tahu kedepannya seperti apa).
Saya belum berani memberitahu
orangtua saya perihal ini. Entah saya harus beralasan apa, dan bagaimana
perasaan orangtua saya. Anak yang ia selalu bangga-banggakan, justru malah
mengecewakannya.
Mungkin bekerja di bank bukan sebuah pencapaian yang
prestise, tapi bagi saya anak kampung yang waktu sekolah beli buku paket saja
ngutang, bisa mendapat pekerjaan yang baik secara finansial, tentu hal yang
sangat besar.
Dari hasil kerja, saya bisa membantu orangtua dan juga
membantu sedikit biaya kuliah adik saya. Seketika saya merasa berdosa kepada
orangtua saya.
Hari-hari di kost, dijalani hampa tanpa makna. Mau
sampai kapan bersembunyi? Akhirnya tiga bulan setelah resign, saya berani bicara
jujur sama ibu saya. Tapi saya heran, kenapa ibu saya malah sudah tahu. Nggak
mungkin 'kan direktur bjb yang ngasih tahu?
Pengalaman resign ini saya tulis tidak untuk saling menyalahkan, toh semuanya sudah berlalu. Saya hanya menjadikan tulisan ini untuk pengingat diri saya sendiri atas apa-apa yang pernah saya putuskan dalam hidup.
Dan semoga selalu ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari setiap kepingan kehidupan yang Allah berikan kepada kita, Aamiin YRA.
Note: Judulnya 1 tahun biar senada dengan dua part sebelumnya. Hehe